SUMENEP, madurachannel.com- “Merapat, atau tak dapat,” Asnan berulangkali mengucap kalimat ini. Addul duduk di sebelahnya, pura-pura paham. “Oh, begitu ya, Nan?” Sahut Addul.
Menurut Asnan, dalam perjalanan hidup seseorang kadang dihadapkan pada dua pilihan. Menjauh atau merapat.
“Sedikit yang berani menjauh, takut jauh dan ditinggalkan. Lebih banyak yang merapat, biar dapat,” kata Asnan melanjutkan.
Pak Apel tampak melintas menunggang sepeda kebo miliknya. Mendekat dan gabung di gardu kampung. Rupanya baru pulang dari balai desa.
Melepas sepatu, kaos kaki, bersila diatas papan anyaman bambu gardu. Tangan pak Apel tak lupa, mencomot kacang godok di piring.
“Sedang ngobrol apa ini?” Tanya Pak Apel pada Asnan dan Addul.
“Politik, pak,” sahut Addul Asnan bersamaan.
Pak Apel mengernyitkan dahi. Mulutnya terus menggiling kacang yang telah dikupasnya. Komat kamit.
“Kata Asnan, politik itu tentang menjauh atau merapat, Pak Apel,” Addul menerangkan.
“Kalau jauh, ya seperti itu. Jika merapat, pasti dapat,” sambung Addul.
“Betul itu,” jawab Pak Apel singkat. Mulutnya kini berhenti menggiling kacang godok. Matanya menatap tajam, Addul-Asnan.
“Jaman sekarang itu susah mencari orang yang idealis. Alias susah mencari orang yang prinsipnya menjauh. Di semua bidang. Sebagai contoh aktivis mahasiswa yang dulunya koar-koar di jalanan, lulus kuliah malah menghamba pemerintah. Mendadak berdasi. Dalam konteks media, jarang juga yang berani kritis, berani jauh. Karena apa? Ya takut tak dapat apa-apa,” panjang lebar kata Pak Apel.
“Padahal, mereka yang jauh itu kadang tampil lebih wibawa dan gentle. Dia berdiri sendiri. Tangguh, dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Jalannya tegak, kepala tegak, khas laki-laki,” pak Apel bicara berapi-api.
Asnan dan Addul terus menyimak. Pak Apel kini diam. Wajahnya menerawang. Menatap dedaun jambu yang lebat.
“Termasuk dusun kita ini. Agak kurang maju karena saya tak merapat. Di semua momen, pemilihan Kades, Pilkada, saya tak pernah merapat. Karena Dusun termasuk warga disini punya idealisme sendiri. Kita bisa tangguh apa adanya,” sambung Pak Apel.
Addul dan Asnan bangga mendengarnya. Pak Apel kembali makan kacang godok. Addul-asnan ikutan makan. Di kejauhan, adzan Dhuhur berkumandang. (*)