Madurachannel.com- Dua sekawan ini duduk di pematang sawah. Addul dan Asnan tepat menghadap bandara. Empat lima ekor kambing diikat dan dibiarkan mencari rumput sendiri. Sejak lama, areal bandara memang jadi lokasi Addul dan Asnan menggembala.
“Asnan, kira-kira Bandara ini boleh disewa tidak ya?” Addul tiba-tiba bertanya.
“Husss…jangan ngawur kamu, Dul. Memangnya buat apa?” Asnan balik bertanya.
“Ya untuk tempat makan kambing. Itu kan ada rumputnya. Hijau dan segar di sebelah runway. Mubadzir kalau gak dimakan Tinky,” jawab Addul sampil mengelus kepala Tinky, kambing jantan kesayangannya itu.
Tak menjawab, Asnan merogoh rokok di sakunya. Menyulut rokok sambil berdiri. Melihat kedalam areal bandara yang dibatasi pagar kawat.
“Iya ya, Dul. Rumputnya hijau. Lemak itu buat pakan si-Tinky. Cepet gemuk nanti kambing kita, kalau bisa nyewa bandara,” sahut Asnan.
Addul ikut bangkit melihat bandara. Rautnya mantap ingin menyewa home base pesawat itu.
“Dul, kenapa kamu kok ingin nyewa bandara?” Asnan penasaran.
“Ya kan sudah gak ada pesawatnya. Sudah sepi. Biasanya kan ada pesawat yang warna hijau. Kalau gak salah nama pesawatnya Citilink. Trus ada yang merah gambar singa. Nama pesawatnya kayak mereka sabun, tapi aku lupa namanya,” terang Addul.
“Yang merah pesawat Wings Air, Dul. Iya kayak merek sabun,” jawab Asnan tertawa.
“Iya betul itu,” sahut Addul.
Dua sekawan ini masih berdiri. Di kejauhan, Kepala Dusun tampak jalan mendekat. Menggandeng kambing otawa miliknya. Jalan si kambing agak cepat. Mungkin kelaparan.
Sampai di lokasi, Addul dan Asnan kompak bertanya. “Pak Apel, besok saya dan Addul mau nyewa bandara. Sampean mau ikut urunan uang?” Kata asnan.
Ditanya itu, Pak Apel kaget. Tali kambing Otawanya diikat ke pohon. Black, nama kambingnya, dibiarkan makan sendiri. Dia lalu menghampiri Addul-Asnan.
“Hei, jangan sembarangan. Bandara itu bukan kayak gedung Korpri, Adipoday atau GNI. Yang bisa disewa bebas. Bandara ini tempat naik turunnya pesawat. Terminalla pesawat,” tegas pak Apel kepada Addul Asnan.
“Tapi kan pesawatnya sudah gak ada, Pak Apel. Sudah gak kelihatan naik turun. Infonya sudah pergi. Bandaranya gak laku,” Addul beralasan diiringi anggukan kepala Asnan berkali-kali.
Pak Apel bingung. Agak diangkat bagian depan topi bundarnya. Kepalanya ikut melongok bandara. Bibirnya menggigit oepet, rokok kretek kesukaannya.
“Iya ya sepi sekali. Biasanya ada pesawat yang besar. Ini tinggal yang kecil-kecil,” Sahut Pak Apel ikut heran.
“Makanya pak Apel, ayo minta ijin pak Bupati untuk nyewa bandara. Biar bermanfaat untuk kambing kita. Tinky, Black, bisa gemuk kalau bisa makan rumput didalam bandara,” ujar Addul sambil menunjuk hamparan rumput hijau didepannya.
Pak Apel kini diam. Ditatapnya Black, kambing kesayangannya. Rumput yang disantapnya banyak kering. Tak sesegar rumput dalam bandara.
“Biar besok saya menghadap pak Klebun. Pak Klebun biar nanya ke Bupati Fauzi. Boleh apa enggak kita nyewa bandara,” kata Pak Apel.
Addul dan Asnan tampak sumringah. Topi keduanya dilempar ke udara. Mirip ekspresi mahasiswa usai di wisuda. Tinky, Black, lari terbirit ketakutan. (red)