CERPEN: Addul Asnan laporan, pada sahabatnya Usi yang kini Bupati

Oleh: Didik Setia Budi. Suka Lato-Lato

(ilustrasi istimewa)
banner 120x600
banner 468x60

Madurachannel.com- Sejak Usi Bupati, banyak sahabat menjauh. Termasuk Addul Asnan, yang memilih jaga jarak. Tak nyaman alasannya. Khawatir dianggap mencari manfaat. Walau demikian, keduanya terus memantau sahabatnya itu di kejauhan.

“Sahabat tak harus dekat. Walau banyak yang berebut mendekat. Gak enak dilihat orang-orang,” kata Addul pada Mbah Jimin di warung kopi. Asnan manggut-manggut mengiyakan. Seisi warung mendengarkan.

Mbah Jimin masih heran. Karena lazimnya seseorang mendekat saat sahabatnya naik derajat. Tentu agar ikut terangkat. Tapi Addul Asnan, tidak. Addul masih setia menjadi keamanan dusun. Pun Asnan tetap menjadi petani tembakau di sawah.

(Foto Istimewa)

Sejak menjadi orang nomor satu tentu berbeda. Addul Asnan tak bisa duduk berlama-lama dengan Usi, sahabatnya itu. Duduknya pun tak bisa sedekat dulu. Di sebelah Usi, kini banyak wajah-wajah baru. Mereka berdasi, rapi.

“Dul, Nan, kamu mau minta apa sekarang?” Tanya Usi tempo hari didalam istana.

Addul Asnan diam tak menjawab. Keduanya fokus makan jamuan kocor hangat. Addul menatap wajah sahabatnya itu. Sedikit lelah, memikirkan urusan orang banyak. Hingga selusin kocor habis, Addul Asnan tak menyampaikan permintaan apa-apa. Keduanya pun pamit. Mereka berpelukan. Usi menatap langkah kedua sahabatnya itu dari gerbang istana.

Dua tahun menjabat, Usi kembali memanggil Addul Asnan ke Istana. Masih dijamu kocor hangat, jajanan kesukaan mereka. Keduanya kembali ditanya mau minta apa. Lagi-lagi Addul Asnan diam. Tak menjawab apa-apa. Selusin kocor kini tak habis. Addul mendadak bersihkan bekas minyak di bibirnya dengan kain bajunya.

“Anu bro…, saya mau melaporkan keluhan warga saja,” kata Addul terbata-bata.

“Usi, bantuan tembakau kemarin tak semua warga Dusun menerima. Mbah Jimin, Ponari, Kipli, bahkan Pak Kadus juga tidak dapat bantuan,” ujar Addul melanjutkan. Usi menyimak laporan Addul. Memperhatikan wajah sahabatnya itu. Sesekali mencatat. Asnan cuma diam. Mulutnya sudah tak makan kocor lagi. Tanpa dilap, menyisakan bekas minyak di bibirnya.

(Foto Istimewa)

“Kami juga tidak tahu. Tiba-tiba ada orang yang mendata ini-itu. Orang kaya menjadi penerima. Petani jagung bim-salabim menjadi petani tembakau. Pak Kadus tak bisa berbuat banyak. Karena yang turun ke Desa dan Dusun mengaku utusan orang penting pemerintah,” sambung Addul.

Usi mengernyitkan dahi. Terkejut. Addul-Asnan tak nyaman. “Sekarang kamu minta apa Dul, Nan?” Tanya Usi kemudian.

“Ya tolong ditertibkan oknum-oknum seperti ini, Usi. Kamu kan orang baik. Jangan sampai citramu rusak karena ulah orang yang begini. Bantuan tak tepat sasaran. Bukankah semangatmu sejak awal melayani warga?” Addul balik bertanya. Usi diam. Memandang dedaun palem yang menjulang di hadapannya.

“Kami pulang dulu ya, Si,” pamit Addul-Asnan bersamaan.

“Kami gak minta apa-apa. Kami minta kau terus bekerja sebaik-baiknya. Adil dan slalu mendengar, melayani,” sambung Addul.

Usi ngangguk mendengarkan. Matanya menatap catatan yang dibuatnya. Wajah sang-Bupati tampak berpikir. Sebuah rencana.

“Kami pamit dulu. Assalamualaikum..!” Addul Asnan jalan dan hilang di kejauhan. (red)

 

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *